Dana Desa Deli Serdang Diduga Banyak Fiktif, Proyek Tak Jelas Selama Satu Dekade

 

Foto : Gambar ilustrasi karikatur Dana Desa 

Deliserdang,analisismedia.com- Dugaan penyimpangan dalam pengelolaan Dana Desa (ADD) di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, terus mencuat. Dalam rentang waktu 2014 hingga 2024, banyak laporan keuangan desa yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Setiap desa disebut-sebut menerima alokasi dana mulai dari Rp700 juta hingga lebih dari Rp1 miliar per tahun, namun penggunaannya dinilai tidak transparan.


Berdasarkan penelusuran team media, ditemukan banyak laporan pengeluaran yang diduga direkayasa. Proyek-proyek yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa—seperti pembangunan jalan, tembok pelindung lahan, dan penyediaan alat pertanian—tidak terlihat realisasinya di lapangan, meski tercatat telah selesai dalam laporan.


Manipulasi data dianggap menjadi pola umum. Tim investigasi mencatat, 50,83 persen penyimpangan berasal dari laporan fiktif, sementara proyek yang dibangun di bawah standar mencapai 50,49 persen. Penggelembungan anggaran dan dugaan penggelapan dana pun mencapai angka mencengangkan: 59,89 persen. Penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa terdeteksi sebesar 50,1 persen, dengan modus-modus lain mencapai 50,99 persen.


Sektor yang paling rawan dikorupsi adalah infrastruktur, khususnya pembangunan jalan desa dan tembok pelindung pertanian, dengan tingkat penyimpangan sebesar 83,43 persen. Disusul oleh sektor administrasi desa (44,44 persen), pemberdayaan masyarakat (42,75 persen), serta bantuan langsung tunai (40,15 persen). Bahkan sektor kesehatan dan pendidikan desa juga turut terdampak.


Kabupaten Deli Serdang memiliki 22 kecamatan, 14 kelurahan, dan 380 desa, dengan jumlah penduduk sekitar 1,7 juta jiwa. Dari total 380 desa yang ditelusuri, mayoritas menunjukkan pola laporan yang tak sesuai kenyataan. Jika dana digunakan sebagaimana mestinya, kemajuan desa, peningkatan produksi pertanian, serta layanan kesehatan seharusnya sudah meningkat secara signifikan.


Salah satu kepala desa, yang enggan disebutkan namanya, mengaku kepada media bahwa mereka kerap dipaksa menyetor dana hingga Rp80 juta per instansi penegak hukum.


“Beginilah bang, kami setiap desa harus setor Rp80 juta ke masing-masing instansi. Kalau enggak, habis kami semua ditangkap,” ungkapnya.


Saat dikonfirmasi ke Humas Kejaksaan Negeri Sumatera Utara, pihak terkait enggan memberikan komentar. Sikap diam ini justru menimbulkan dugaan bahwa ada kebenaran di balik pengakuan tersebut.


Lebih lanjut, Menteri Desa baru-baru ini menyampaikan bahwa banyak media gadungan yang memeras kepala desa, sehingga beberapa wilayah melarang adanya koordinasi dengan pihak media. Tim Awak media menilai situasi ini sarat kepentingan dan menimbulkan kecurigaan adanya praktik "tutup mulut" yang terorganisir.

(Red)

Post a Comment

Previous Post Next Post